Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Di sepuluh hari terakhir
Ramadhan adalah momen yang baik untuk banyak beramal. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga mencontohkan hal ini, beliau lebih semangat beramal di
akhir-akhir Ramadhan. Ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, karena setiap
amalan dinilai dari akhirnya. Kedua, supaya mendapati lailatul qadar.
Lailatul Qadar Di
Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Lailatul Qadar itu
terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar
pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan
Muslim no. 1169)
Terjadinya lailatul
qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar
di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari
no. 2017)
Lebih Serius dalam
Ibadah di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا
دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ
مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
ketika memasuki 10 Ramadhan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan
meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah,
dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” Muttafaqun ‘alaih. (HR.
Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
Hadits di atas
menunjukkan keutamaan beramal sholih di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan punya keistimewaan dalam ibadah dari
hari-hari lainnya di bulan Ramadhan. Ibadah yang dimaksudkan di sini mencakup
shalat, dzikir, dan tilawah Al Qur’an.
Hadits tersebut juga
menunjukkan anjuran membangunkan keluarga yaitu para istri supaya mendorong
mereka melakukan shalat malam. Lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan.
Membangunkan keluarga di
sini merupakan anjuran di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, namun anjuran
juga untuk hari-hari lainnya. Karena keutamaannya disebutkan dalam hadits yang
lain,
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً
قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى
وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ
وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati
seorang laki-laki yang di malam hari melakukan shalat malam, lalu ia
membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, maka ia memerciki air pada
wajahnya. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang di malam hari
melakukan shalat mala, lalu ia membangungkan suaminya. Jika suaminya enggan,
maka istrinya pun memerciki air pada wajahnya.” (HR. Abu Daud no. 1308 dan An
Nasai no. 1148. Sanad hadits ini hasan kata Al Hafizh Abu Thohir).
Sufyan Ats Tsauri
berkata, “Aku sangat suka pada diriku jika memasuki 10 hari terakhir bulan
Ramadhan untuk bersungguh-sungguh dalam menghidupkan malam hari dengan ibadah,
lalu membangunkan keluarga untuk shalat jika mereka mampu.” (Lathoiful Ma’arif,
hal. 331).
Yang dimaksud dengan
menghidupkan sepuluh hari terakhir atau menghidupkan malam lailatul qadar
adalah dengan menghidupkan mayoritas malamnya, tidak mesti seluruhnya. Demikian
pendapat ulama Syafi’iyah. Bahkan sebagaimana dinukil dari Imam Syafi’i,
keutamaan tersebut didapat bagi orang yang menghidupkan shalat ‘Isya’ secara
berjama’ah dan shalat Shubuh secara berjama’ah. Lihat Lathoiful Ma’arif, hal.
329.
Semoga Allah memudahkan
kita bersemangat dalam ibadah di akhir-akhir Ramadhan.
Referensi:
Minhatul ‘Allam fii
Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul
Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 51-52.
Lathoif Al Ma’arif fii
Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Al Maktab
Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar