Translate

Jumat, 28 Februari 2014

Kaidah-Kaidah Penting dalamIttiba’ (Mengikuti Sunnah Rasulullah)



بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ


Assalamu'alaikum wr.wb



Kaidah Penting dalam Ittiba
Dalam ber-ittiba’, yaitu meneladani dan mencontoh tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terdapat beberapa kaidah penting yaitu:

1. Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat

Maka jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah (hadits) Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, wajib bagi menerimanya dan bersegera untuk menerapkannya dengan melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Oleh karena itu dahulu para salaf rahimahumullah berjalan mengikuti nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia mengikuti atsar.

Zuhri berkata, “Risalah datangnya dari Allah, kewajiban Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Ketika menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Telapak kaki Islam tidak akan tegak kecuali di atas permukaan menerima dan pasrah.” Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya.”

2. Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i dan memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya

Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”
Asy-Syathibi berkata, “Setiap orang yang mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam beban-beban syariat (ibadah-pen), berarti dia telah menyelisihi syariat. Dan setiap orang yang menyelisihi syariat, amalan dia di dalam penyelisihan itu adalah batil (sia-sia). Maka barangsiapa mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam beban-beban syariat, berarti amalannya juga batil.”
Alangkah indahnya perkataan seorang khalifah yang lurus, Ali radhiallahu’anhu, ketika dia berkata, “Janganlah kalian mengikuti sunnahnya orang-orang (yang masih hidup –pen). Karena sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli surga kemudian dia berbalik lalu melakukan amalan ahli neraka sehingga dia mati dan termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli neraka kemudian dia berbalik – karena Allah mengetahui tentangnya – lalu dia melakukan amalan ahli surga sehingga dia mati dan termasuk ahli surga. Dan jika kalian memang harus melakukannya (mengikuti suatu sunnah –pen), maka hendaknya terhadap orang-orang yang telah wafat, bukan yang masih hidup.” Beliau mengisyaratkan kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau yang mulia.
Dan juga perkataan Abu Zinad, “Sesungguhnya sunnah-sunnah dan sisi-sisi kebenaran banyak yang datang menyelisihi akal. Maka mau tidak mau kaum muslimin harus mengikutinya. Di antaranya, bahwa seorang wanita haidh mengganti puasa namun tidak mengganti shalat.”

3. Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan segala ajaran yang beliau bawa

Baik yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala kepada beliau, maupun berupa perintah maupun larangan, dan juga mengamalkan sunnah yang suci. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang semisalnya. Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang semisalnya.”
‘Atha berkata, “Mentaati Rasul adalah dengan mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah.”
Al-‘allamah As-Sa’di berkata, “Sesungguhnya wajib bagi seluruh hamba untuk berpegang dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak halal menyelisihinya. Dan sesungguhnya pernyataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sama dengan pernyataan Allah Ta’ala di dalam memberikan hukum. Maka tidak ada keringanan ataupun alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh mendahulukan perkataan seseorang atas perkataan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.”

4. Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman beliau, maka melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah sunnah

Seperti perayaan maulid Nabi, menghidupkan malam Isra’ Mi’raj, merayakan tahun baru hijrah serta yang semisalnya. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”
Imam Malik rahimahullah berkata, “Apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Meninggalkan sesuatu secara terus-menerus adalah sunnah, sebagaimana perbuatan yang terus-menerus adalah sunnah.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Adapun ahlussunnah wal jama’ah, mereka berkata bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak tetap dari para sahabat radhiallahu’anhum adalah bid’ah. Karena seandainya baik, tentunya mereka telah mendahului kita melakukannya.”

5. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang berupa ibadah dan muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam masalah politik atau ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah menjelaskan dan menerangkannya

Allah Ta’ala berfirman.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan telah Kami turunkan suatu kitab kepadamu sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin.” (QS. An-Nahl: 89)
Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama.” (QS. Al-Maidah: 3)
Seorang dari kaum musyrikin berkata kepada Salman Al-Farisi, “Apakah Nabimu mengajarkan segala sesuatu kepada kalian sampai pun pada masalah buang air?” Maka Salman menjawab, “Benar, beliau telah melarang kami dari menghadap kiblat ketika buang air besar maupun kecil … – sampai akhir hadits.”

6. Ittiba’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam enam perkara yaitu:

  1. Sebab. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, menghidupkan malam ke duapuluh tujuh bulan Rajab dengan shalat tahajjud, dengan anggapan bahwa malam itu adalah malam isra’ mi’raj. Maka shalat tahajjud pada asalnya adalah ibadah, namun ketika dikaitkan dengan sebab ini, maka menjadi bid’ah karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.
  2. Jenis. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
  3. Ukuran. Seandainya ada seseorang yang ingin menambah satu shalat sebagai shalat wajib atau menambah satu raka’at dalam shalat wajib, maka amalannya ini adalah bid’ah dan tertolak. Karena amalan (shalat) itu menyelisihi syari’at di dalam ukuran dan bilangannya.
  4. Tata cara. Jika seseorang membolak-balik wudhu dan shalat, maka wudhu dan shalatnya tidak akan sah. Karena amalannya menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
  5. Waktu. Seandainya seseorang menyembelih hewan kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
  6. Tempat. Jika seseorang melakukan i’tikaf di rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi syari’at di dalam tempat.

7. Asal di dalam ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud (merendahkan diri dan tunduk) dan imtitsal (mewujudkan ketaatan) tanpa melihat kepada hikmah-hikmah atau amalan-amalan yang dikandungnya, meskipun kadang nampak jelas pada sebagian banyak darinya

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata menetapkan hal ini, “Wajib kita ketahui bahwa hikmah adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, maka kita wajib menerimanya. Jika ada seseorang yang bertanya kepada kita tentang hikmah di dalam suatu perkara, kita jawab bahwa sesungguhnya hikmah adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Dalilnya dari al-Qur’an al-Karim adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Tidak pantas bagi seorang laki-laki atau perempuan yang beriman memiliki pilihan di dalam urusan mereka jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu urusan.” (QS. Al-Ahzaab: 36) 

Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya, kenapa seorang wanita yang haidh mengganti puasanya tetapi tidak mengganti shalat? Maka beliaupun menjawab, “Dahulu hal itu juga menimpa kita, lalu kami diperintah untuk mengganti puasa tapi tidak diperintah untuk mengganti shalat. Maka beliau berdalil dengan sunnah dan tidak menyebutkan ‘illah (alasannya). Inilah hakikat taslim dan ibadah, yaitu menerima perintah Allah dan Rasul-Nya baik diketahui hikmahnya ataupun tidak. Jika seseorang tidak mau beriman terhadap sesuatu kecuali jika dia mengetahui hikmahnya, kita katakan, sesungguhnya engkau adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, engkau tidak mau melaksanakan ketaatan kecuali jika nampak bagimu bahwa hal itu adalah baik.” Alangkah menakjubkan Al-Faruq Umar radhiallahu’anhu ketika berkata, “Kenapa tetap berlari-lari kecil dan membuka bahu kanan (yakni ketika thawaf dalam haji dan umrah –pen) padahal Allah telah mengokohkan Islam, menghilangkan kekafiran dan orang-orangnya? Meskipun demikian kita tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dulu kita lakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Akan tetapi, dari penjelasan yang telah lalu, tidak boleh dipahami oleh seorang pun bahwa tidak ada tuntutan untuk membahas tentang hikmah dan makna yang terkandung di dalam ibadah-ibadah yang ditunjukkan oleh beberapa indikasi. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam telah menyebutkan sebagian darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar