Mengenal Kiai Bisri, Mengenal Fiqih
“Kiai Bisri terlibat sepenuhnya dalam proses konsolidasi
kegiatan organisasi NU, seperti terbukti dari kiprahnya dalam mengembangkan
dan mengawasi kegiatan lailatul ijtima, sebuah forum keagamaan untuk
mengingat jasa mereka yang telah berpulang ke Rahmatullah..” (Dipetik dari Ungkapan Gus Dur).
Kiai Bisri Lahir pada hari
Jumat 5 Dzulhijjah 1304 atau 28 Agustus 1887, di Tayu-Pati, Jawa Tengah. Ada
yang mengatakan ia lahir 25 5 Djulhijjah 1304 atau 18 September 1886. Ia
merupakan anak ketiga dari pasangan Kiai Syansuri dan Nyai Siti Mariah.
Bisri kecil sudah
tekun belajar agama dari orang tuanya dan dari lingkungan yang memang
tergolong kampung santri. Setelah mengkhatamkan Al-Qur’an, Bisri pergi ke
Kajen-Margoyoso untuk nyantri ulama kenamaan, Kiai Abdus Salam. Ilmu alat dan
kitab-kitab fiqih, tauhid, akhlak tingkat dasar diselesaikannya dengan baik
di pesantren tersebut.
Memasuki usia remaja,
tepatnya umur 15 tahun, Bisri pergi ke Bangkalan-Madura, untuk mengunduh
kaweruh kepada guru yang masyhur sebagai waliyullah, Syaikhona Kholil. Di
sinilah Bisri mempelajari ilmu fiqih lebih dalam lagi, di satu sisi. Di sisi
lain, beliau mulai bersinggungan dengan tasawuf dan juga tarekat. Syaikhona
Cholil adalah seorang ulama, guru semua ulama besar di Nusantara, yang
berhasil menggabungkan ilmu fiqih yang lahiriah dan ilmu tasawuf serta
tarekat yang cenderung batiniah.
Dan di Bangkalan
pulalah, Bisri berjumpa dengan santri asal Jombang bernama Abdul Wahab
Chasbullah, yang kelak menjadi teman seperjuangan dan juga suadara iparnya.
Menurut Gus Dur lagi, perjumpaan dua anak muda ini akan memengaruhi
perkembangan Islam di Indonesia, utamanya pesantren dan NU.
Setelah dari
Bangkalan, tahun 1906, Bisri berangkat ke Tebuireng-Jombang, mengaji kepada
Harotusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Bisri baru meninggalkan Tebuireng tahun
1911. Setelah dari sana, ia telah menjadi kiai muda. Dan tak lama kemudian,
ia pergi ke Mekkah bersama Kiai Wahab. Di tanah suci, ia belajar kepada
Muhammad Said al-Yamani, Syaikh Bakir, Syaikh Ibrohim Bafadlol, Syaikh Jamal
al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfud Termas, dan
lain-lian.
Sepulang dari Mekkah,
tahun 1914, Bisri yang telah menjadi kiai ‘betulan’ menikah dengan adik Kiai
Wahab Chasbullah, yakni Nur Khodijah binti Kiai Chasbullah. Dari perkawinan
ini, mereka mendapatkan 10 anak: Ahmad Bisri, Muashomah, Sholilhah (istri
Kiai Abdul Wahid Hasyim), Muslihatun, Musyarofah, Sholihun, Abdul Aziz,
Shokhib. Kiai Bisri menikah lagi dengan Maryam Mahmud dari Jember, setelah
Nyai Nur Khodijah wafat. Penting dicatat, baliau tidak melakukan poligami,
padahal kiai kita ini mencintai fiqih dan hidup semasa belum ada kampanye
monogami.
Pada tahun 1917, atas
seizin mertuanya, Kiai Bisri meninggalkan Tambakberas, dan mengembangkan
pesantren di desa Denanyar Jombang.
Dua tahun berikutnya,
Kiai Bisri mengadakan kelas khusus untuk santri perempuan. Mula-mula, santri
perempuan itu datang dari lingkungan sekitar. Menurut catatan Gus Dur, inilah
pesantren pertama di Jawa yang menerima santri perempuan.
Semula kelas perempuan
ini tidak disetujui oleh guru tercintanya, Kiai Hasyim Asy’ari, tapi setelah
berkembang dan sangat nyata kemaslahatannya, kiai hasyim mengizinkannya.
Hingga kini, pesantren Denanyar, terkenal juga dengan nama Mambaul Ulum, dan terus berkembang.
Kiai Bisri adalah
pencinta dan pengikut setia ilmu fiqih. Gus Dur mencatat, Kiai Bisri bersama
dengan Kiai As’ad dari Situbondo, Kiai Abdul Karim dari Sedayu-Gresik, Kiai
Ahmad Baidlawi dari Banyumas, Kiai Ma’shum Ali dari Masukumambang-Gresik
adalah kiai yang masuk “barisan kiai fiqih”. Inilah, kata Gus Dur, yang kelak
memengaruhi perkembangan pesantren yang condong terhadap ilmu fiqih dan juga
keputusan-keputusan sosial keagamaan atau politik di lingkungan Nahdlatul
ulama.
Pada satu kesempatan
di hari raya Idul Adha, ada cerita begini. Seorang warga datang ke Kiai
Bisri, tujuannya bertanya tentang sapi yang akan disembelih.
"Kiai Bisri,
keluarga saya delapan orang. apakah cukup kami kurban satu ekor satu sapi untuk
delapan jiwa?" tanya warga dengan takdim.
"Tidak bisa,
Kang. Sapi untuk tujuh jiwa," jawab Kiai Bisri dengan lugas.
Warga pun kembali ke
rumahnya, dengan lesu. Oleh tetangganya, warga tersebut disarankan datang ke
Kiai Wahab Hasbullah. Datanglah ia dengan segera ke pesantren Tambakberas,
kediaman Kiai Wahab.
"Kiai Wahab,
keluarga saya delapan orang. apakah cukup kami kurban satu ekor sapi untuk
delapan jiwa?"
"Boleh saja,
Kang. kenapa tidak boleh."
"Betul boleh,
Kiai?"
"Boleh, boleh.
Keluarga Sampeyan yang paling kecil umur berapa?"
"Anak saya yang
paling kecil 5 tahun,Kiai."
"Kalau begitu
beli satu ekor kambing lagi. Buat pancikan anakmu yang paling kecil
itu."
Warga tadi pulang
dengan rasa puas. Dia tidak merasa bahwa Kiai Wahab telah
"mengerjainya". Dia merasa kiai yang baru didatanginya itu lebih
longgar daripada Kiai Bisri, padahal, esensi yang disampaikan antara kedua
kiai itu sama, cuma beda model komunikasi.
Kesetiaan Kiai Bisri
pada fiqih, sering membuatnya tampak berseberangan dengan karibnya, Kiai
Wahab. Padahal tidak, keduanya memiliki tugas yang berbeda. Bila Kiai Bisri
berperan sebagai kiai yang harus memandang dan memeriksa persoalan dalam segi
fiqih murni, maka Kiai Wahab mencari solusi dari pelbagai aspek secara
menyeluruh, tidak hanya aspek fiqih. Dua pendapat ini akan ditemukan untuk
mendapatkan jalan keluar yang pas, relevan dengan keadaan, dan tidak
bertentangan dengan fiqih. Kedua kiai ini saling menghormati. Saking
hormatnya, kiai wahab tidak bersedia menjadi Rais Aam di muktamar NU
Bandung, tahun 1967. Padahal waktu itu, kiai wahab sudah banyak udzur karena
sepuh. Selagi kiai Wahab ada, apapun keadaannya, Kiai Bisri tidak bersedia
menjadi rais ‘am.
Sebagai murid terkasih
Mbah Hasyim Asy’ari dan sebagai sahabat karib Kiai Wahab Chasbullah, Kiai
Bisri terlibat aktif dalam melahirkan Nahdlatul Ulama. Mula-mula Kiai Bisri
diajak mendirikan Nahdlatut Tujjar oleh Kiai Wahab. Ketika rezim Wahabi di
Saudi semakin keras menolak pemahaman orang-orang bermadzhab dan menganut
pemirikannya mereka, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berkeliling ke Jawa, dari
Banyuwangi hingga ke Menes banten, guna mensosialiasi pemikiran-pemikiran
keagamaan yang menghormati orang bermadzhab.
Setelah solid,
terbentuklah komite hijaz, sebuah kepanitiaan yang mengajukan konsep beragama
yang menghargai paham lain, kebebasan menjalankan ibadah haji dan penolakan
penghancuran situs-situs bersejarah di Mekkah dan Madinah, termasuk kuburan
Rasulullah.
Komite hijaz menjadi
salah satu titik tolak lahirnya NU, 31 Januari 1926. Diceritakan, pada
hari-hari menjelang berdirinya NU di Surabaya itu, di saat kiai dan ulama
dari seluruh Jawa, Madura, Kalimantan Selatan sudah berkumpul, Mbah Hasyim
masih di Jombang, belum yakin atas gagasan mendirikan NU. Maka, Kiai Bisrilah
yang diminta menjemput Mbah Hasyim Asyari dari Jombang untuk berangkat ke
Surabaya. Gus Dur memberi catatan, hanya Kiai Bisrilah yang dapat meyakinkan
gurunya atas berdirinya NU.
Pasca berdirinya NU,
Kiai Bisri terlibat langsung mengikuti pergerakan organisasi sebagaimana
karibnya, Kiai Wahab. Kiai Bisri tercatat sebagai penggerak Lailatul ijtima’,
wadah konsolidasi jamaah. Ia sangat tekun dan istikomah dalam menggerakkan
majlis tersebut. Majlis tersebut mengumpulkn para aktifis NU pada malam hari,
umumnya sebulan sekali, baik di tingkat kecamatan hingga tingkat kabupaten.
Lailatul ijtima berisi tahlilan, kirim doa kepada yang sudah meninggal,
hingga perbincangan seputar organisasi.
Kiai bisri juga
mendorong upaya pendirian rumah yatim piatu di beberapa tempat, termasuk di
Jombang. Hingga akhir hayatnya, Kiai Bisri dikenal dekat dengan kaum papa.
Kiai Bisri Syansuri
aktif dalam pergerakan mengusir penjajah dari tanah air, terutama setelah
pecahnya perang dunia kedua. Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat
dalam pertahanan negara secara langsung, yakni dengan menjadi Kepala Staf
Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Hingga lahirnya TNI, MODT tidak dibubarkan dan Kiai Bisri tetap menjadi
kepala.
Di usia yang sudah 50
tahun, Kiai Bisri aktif berkonsultasi dengan para komandan militer di daerah
pertempuran Surabaya-Jombang, hingga pecahnya pertempuran 10 Nopember 1945 di
Surabaya.
Pasca kemerdekaan,
Kiai Bisri juga terlibat aktif dalam pemerintahan. Pada tahun 1946, ia
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota konstituante,
DPR-GR, dan anggota DPR pasca pemilu 1971.
Semasa menjadi DPR,
Kiai Bisri berhasil membuat RUU Perkawinan tandingan yang lebih sesuai dengan
ketentuan fiqih. Ketika sidang umum MPR tahun 1977, sikap Kiai Bisri yang
juga diikuti anggota dari Fraksi Persatuan Pembangunan, yang tidak setuju
pemberian status aliran kepercayaan, membuat sidang menjadi goyah. Kiai Bisri
memelopori walkout, sebagai bagian dari sikap menolak.
Ia menempati kedudukan
tertinggi NU sebagai Rais Am, setelah Kiai Wahab wafat tahun 1973. Kiai Bisri
wafat pada tanggal 19 Jumadil Akhir 1400 atau 24 April 1980 di usianya yang
ke 94 tahun. Ia dimakamkan di tempat perjuangannya, Pesantren Denanyar,
Jombang. Gus Dur menulis kepergian Kiai Bisri dengan kalimat yang sangat
indah.
“Kiai Bisri Syansuri
berpulang ke Rahmatullah dalam usia yang sangat lanjut, tetapi tetap dalam kerangka
perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan metamorfosis yang terjadi
di dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu
ketundukannya yang mutlak kepada fiqih sebagai pengaturan hidup secara total.
Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqih-lah membentuk
keutuhan diri pribadai Kiai Bisri Syansuri, mengarahkan perjalanan hidupnya,
dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan yang dihadapinya. Kalau
kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh, dan kaya akan
dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencerminan dari
penerimaan mutlak atas hukum fiqih sebagai kehidupan nyata.”
(Hamzah Sahal,
dari berbagai sumber)
|
Translate
Minggu, 01 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar