بِسْــــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Di antara tugas kita
sebagai seorang muslim adalah menghubungkan hati dengan Allah swt.,
mengenal-Nya, dan menghidupkan rasa takut kepada-Nya. Allah swt adalah Pencipta
yang sudah seharusnya disembah, Dzat yang mempunyai sifat-sifat sempurna, dan
suci dari sifat-sifat yang kurang.
Segala kebaikan ada
di tangan-Nya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ
اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan Dia telah
memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.”
[Ibrahim: 34].
Allah swt. adalah
Rabb semesta alam, yang mengatur segala hal berhubungan dengan seluruh
makhluk-Nya, yang menyediakan semua kebutuhan mereka, dan mengeluarkan mereka
dari bahaya.
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
“Jika Allah
menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya
melainkan Dia sendiri.” [Al-An’am: 17].
Allah swt.
mengabulkan doa orang yang berada dalam kondisi tidak berdaya menghadapi kesulitan,
kemudian mengeluarkannya dari kesulitan tersebut:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ
“Atau siapakah yang
memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya,
dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?”
[An-Naml: 62].
Demikianlah yang
seharusnya dirasakan oleh setiap muslim. Akidah hendaknya menjadi nyawa yang
menggerakkan seluruh persendiannya. Akidah hendaknya menjadi cahaya yang
menerangi hatinya. Karena hanya dengan Allah swt., dia akan menjadi segalanya;
tanpa-Nya dia bukanlah apa-apa.
Berikut ini akan kami
sebutkan secara ringkas hal-hal yang diberikan akidah kepada seorang muslim:
Mengenalkan kepada Pencipta
Allah swt. lah yang
menciptakan manusia dari ketiadaan.
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ
شَيْئًا مَذْكُورًا
“Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan
sesuatu yang dapat disebut?” [Al-Insan: 1].
Demikianlah, akidah
senantiasa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu
pikiran manusia. Pertanyaan yang jika tidak mendapatkan jawaban, akan bisa
menghancurkan manusia sendiri. Berikut akan disampaikan sebuah perumpamaan
penting akidah dalam menjadi berbagai pertanyaan yang ada di pikiran manusia.
Jika kita bayangkan seseorang yang tidur. Ketika bangun, dia
mendapati dirinya berada di istana yang sangat megah. Dia disuguhi berbagai
makanan dan minuman setiap waktu. Sedangkan dirinya tidak tahu siapa sebenarnya
pemilik istana itu; siapa yang menyuguhinya makanan, minuman, dan pakaian,
tanpa menampakkan dirinya.
Apakah orang seperti ini akan bisa tenang jiwanya dan nyaman
hatinya sebelum mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan di manakah dia? Siapa
pemilik istana itu? Siapa yang memberinya makanan, minuman, dan pakaian? Apa
tujuan semua yang dilakukan pada dirinya? Berapa lama dia akan berada di istana
itu? Kemudian seandainya saja datang seseorang yang jujur, dan mengatakan
kepadanya, “Ini adalah istana yang diberikan Amir Fulan kepadamu sebagai
imbalan atas perbuatan baikmu, dengan tujuan untuk memuliakan semua orang yang
bekerja dan membalas orang yang ikhlas dalam kerjanya.” Kalau dia mendapat
jawaban tersebut, bukankah dirinya akan tenang, puas, dan nyaman?
Demikian juga manusia
yang mendapati dirinya ada dalam kehidupan ini, tidak mengetahui siapa yang
menciptakannya, siapa yang memberinya rezeki, berapa lama akan tinggal, setelah
habis masanya hendak kemana. Jika akidah bisa menjawab itu semua, maka hati
manusia itu akan tenang, pikirannya tidak akan guncang, dan dia akan mengetahui
alam sekitarnya. Tapi apabila tidak mendapat jawaban, dirinya akan terus berada
dalam kebingungan, seperti orang yang terlunta-lunta dalam kehidupan. Tanpa
akidah yang memberinya petunjuk, dan syariah yang menuntunnya, maka dirinya
akan terpecah-pecah, bingung, tidak seimbang, dan tidak benar pikirannya.
Anugerah Istiqamah dan
Kemuliaan Jiwa
Akidah akan mengajari
manusia tentang kemuliaan jiwa, membersihkan jiwa dari hal-hal yang kotor,
keji, fasiq dan sebagainya. Oleh karena itu akidah melarangnya berbuat keji dan
dosa:
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Katakanlah: “Tuhanku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar.” [Al-A’raf: 33].
Akidah akan
mengangkat manusia kepada derajatnya sebagai manusia; tidak akan membiarkannya
jatuh dalam kubangan syahwatnya. Akidah akan menggariskan untuknya jalan yang
lurus, membimbing langkahnya, mengangkat kepalanya, dan menaikkan semangatnya.
Akidah senantiasa
mengajari dan menuntun. Orang yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an akan melihat
bagaimana aturan akhlak yang sangat unik, akan melihat bagaimana tarbiyah yang
bisa mengangkat manusia hingga terbang jauh dari cakralawa kedhaliman,
kejahatan, dan pemutar-balikan.
Di antara hal
menakjubkan yang bisa kita lihat adalah bahwa akidah berkata kepada seorang
muslim, “Janganlah berbuat dhalim, karena Allah swt. tidak pernah berbuat
dhalim…Jangan menyakiti karena Allah swt. sangat sayang dan belas kasihan…
Umat manusia hanya
bisa hidup bahagia dan tenteram dengan jiwa dan akhlak yang tinggi, yang akan
menerangi keluarga dan masyarakat dengan cahaya, kejernihan, dan kesucian. Hal
ini sangat diperlukan oleh setiap umat dan generasi yang ingin bangkit. Oleh
karena itu, seorang da’i berkonsentrasi dalam menghidupkan akidah dalam
jiwa-jiwa obyek dakwah sehingga ruh, pemikiran, dan langkah mereka menjadi
tinggi, tidak rendah seperti hewan.
Menghadirkan Ketenangan dan Penuh Harap
Hal yang paling
berpengaruh memberikan ketenangan dan harapan dalam hati adalah akidah,
hubungan dengan Allah swt., tawakkal, mengikuti ajaran Allah swt., dan
mengikuti sunnah Rasulullah saw. Allah swt. berfirman:
وَمَنْ يُؤْمِنْ
بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [At-Taghabun: 11].
Ketenangan ini adalah
kenikmatan dari Allah swt. yang diberikan kepada hati yang beriman. Hal itu
sebagai tanda bahwa Allah swt. telah ridha, untuk meneguhkan hatinya dalam
kehidupan dunia, dan untuk mendukungnya ketika menghadapi kebatilan. Hal ini
seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا
إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
“Dia-lah yang telah
menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka
bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” [Al-Fath:4].
Kata “السَّكِينَةَ”
adalah ketenangan, keteguhan, kewibawaan, yang masuk ke dalam hati seorang
muslim, sehingga akan menyisihkan rasa takut dan gelisah, akan menjauhkan rasa
khawatir dan lemah. Selanjutnya sakinah akan menhadirkan perasaan ma’iyatullah,
(selalu bersama Allah swt.), dan bersama rahmat-Nya, sehingga akan ada
keteguhan dan keyakinan dengan pertolongan Allah swt. yang lebih besar daripada
peristiwa dan musibah yang sedang dihadapi. Dia akan tenang menghadapi ujian
dan peristiwa besar. Bagaimana tidak, dia selalu bersama Allah swt.
وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
[Al-Baqarah: 194].
Dia akan merasakan
bahwa Allah swt. sangat dekat dengannya. Dengan mudah dia berdoa, memohon,
mengeluh kepada Allah swt.:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
[Al-Baqarah: 186].
Oleh karena itu,
ketenangan ini selalu bersama orang-orang yang beriman dalam setiap peritiwa
berat. Sehingga hal itu menjadi salah satu faktor terpenting dalam menghadirkan
kemenangan. Misalnya dalam perang Badar. Ketika dua pasukan bertemu dalam
sebuah perang yang tidak seimbang dalam jumlah pasukan dan persenjataan, lalu
hadirlah ketenangan, peneguhan, dan penguatan dari Allah swt. untuk orang-orang
yang beriman. Keadaan berubah menjadi seimbang, bahkan orang-orang yang beriman
itu lebih unggul atas pasukan orang-orang kafir berkat ketenangan tersebut.
Karena ketenangan tersebut telah mengusir rasa takut, khawatir, dan rasa lemah.
Membekali Keberanian
Akidah memberi
seorang mukmin keberanian dan kepatriotan. Keberanian itu bisa terwujud dalam
berbagai medan kehidupan; keberanian melawan hawa nafsu, keberanian melawan
kecenderungan hewani pada dirinya, dan sebagainya. Oleh karena itu, kita banyak
mendapati orang yang membina kekuatan akidahnya membuat contoh yang sangat
hebat dalam keistikomahan dan keteladanan. Sangat bertolak-belakang, karena
sebelumnya dunia hanya mengenal kebodohan, cinta dunia, mengikuti hawa nafsu,
dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an
banyak disebutkan bagaimana akidah melahirkan keberanian dalam menghadapi ujian
yang sangat berat, dan dalam melawan kebatilan. Orang-orang berakidah kuat
tidak pernah takut dengan kematian, karena kematian dalam anggapan mereka
adalah sebuah keniscayaan.
قُلْ
إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ
“Katakanlah:
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian
itu akan menemui kamu.” [Al-Jumu’ah: 8].
Sejarah telah banyak
menyuguhkan kepada kita orang-orang yang sangat unik seperti ini. Misalnya
adalah Uqbah bin Amir ra. yang terhenti laju kudanya di ujung barat benua
Afrika. Kaki kudanya terangkat-angkat di atas air samudera Atlantik, seakan
ingin terus melaju tapi air menghalanginya. Saat itu Uqbah ra. mengatakan
sebuah kalimat yang dikenang sepanjang masa, “Demi Allah, wahai lautan, kalau
aku tahu di belakangmu ada sebuah negeri maka aku akan terus melajukan kudaku
untuk berjihad di jalan Allah swt.”
Hal yang sama
dilakukan oleh Qutaibah ra. yang memimpin pasukan muslimin hingga sampai ke
perbatasan negeri Cina, dan bertekad akan terus maju untuk berjihad di jalan
Allah swt. Tapi ada salah seorang sahabatnya yang merasa khawatir atas
keselamatannya, hingga akhirnya menasihatinya untuk tidak terburu-buru. Dia
mengatakan, “Engkau sudah memasuki negeri-negeri Turki, wahai Qutaibah.
Sedangkan peristiwa-peristiwa dalam sejarah itu akan selalu berubah, tidak
selalu menang.” Dengan keberanian yang terus menggeloran Qutaibah mengatakan,
“Kalau waktu sudah habis, tidak penting lagi persiapan.”
Mereka adalah
orang-orang yang tumbuh-besar bersama asupan Al-Qur’an yang terus-menerus
diberikan kepada mereka. Mereka sungguh yakin bahwa jalan yang mereka lalui
akan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan. Mereka banyak mengambil pelajaran
dari kafilah-kafilah serupa yang telah lalu. Dengan sangat jelas Al-Qur’an
menggambarkan mereka:
مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ
قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).”
[Al-Ahzab: 23].
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ