Demikian pula, Dr.
Faraj Faudah (Faraq Fuda, Mesir 1945-1993) tokoh sekuler di
Mesir yang mati ditembak orang, April 1993, dan dinyatakan murtad oleh seorang
ulama terkemuka di Mesir Muhammad Al-Ghazali, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam
barisan Islam Liberal yang menurutnya: secara tidak proporsional, menjadi korban
kekerasan. Sebagaimana Dr Muhammad Khalaf Allah (Mesir, lahir 1916) yang dalam
acara debat Islam dan Sekuler di Mesir 1992 dia jelas sebagai wakil kelompok
sekuler, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam kelompok Islam Liberal yang
teraniaya seperti Dr Faraj Faudah. Hanya saja dia sebutkan, tidak hanya dipaksa
untuk membakar seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan
kembali keimanannya kepada Islam dan kembali memperbarui perjanjian
perkawinannya.
Bahkan Ahmad Dahlan
(1868-1923M) pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Surkati ulama Al-Irsyad gurunya Prof
Dr HM Rasjidi dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal.
Sebaliknya, Nurcholish Madjid yang sejak tahun 1970-an mengemukakan pikiran
sekularisasinya dan dibantah oleh HM Rasjidi, dimasukkan pula dalam jajaran
Islam Liberal.
Kurzman yang alumni
Harvad dan Berkeley itu menandai para tokoh Islam Liberal adalah orang-orang
yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan non
Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu menurutnya,
adalah orang-orang modernis atau pembaharu.
Secara pengkategorian untuk menampilkan analisis, Kurzman telah memilih nama
Islam Liberal sebagai wadah, tanpa menilai tentang benar tidaknya
gagasan-gagasan dari para tokoh yang tulisannya dikumpulkan, 39 penulis dari 19
negara, sejak tahun 1920-an. Namun dia memberikan pengantar tentang perjalanan
tokoh-tokoh Islam Liberal sejak abad 18, dimulai oleh Syah Waliyullah (India,
1703-1762) yang dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal, karena walaupun
fahamnya revival (salaf) namun menurut Kurzman, bersikap lebih humanistik
terhadap tradisi Islam adat, dibanding yang Wahabi atau kelompok kebangkitan
Islam lainnya.
Digambarkan, orang
Islam Liberal angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20 mengakomodasi Barat dengan
kurang begitu faham seluk beluk Barat. Tetapi kaum Liberalis angkatan setelah
itu lebih-lebih sejak 1970-an adalah orang-orang yang faham dengan kondisi
Barat karena bahkan mereka keluaran Barat, Eropa dan Amerika.
Gambaran itu perlu
diselidiki pula, seberapa kemampuan mereka dalam hal ilmu-ilmu Islam pada
angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20; dan seberapa pula kaum Liberalis yang
angkatan belakangan sampai kini.
Islam Liberal Dimasyhurkan dengan
Sebutan Pembaharu
Pengkategorian Islam
Liberal seperti yang dilakukan Kurzman itu, sebenarnya secara bentuk pemahaman
hanya satu bentuk pengelompokan yang longgar, artinya tidak mempunyai sifat yang
khusus apalagi seragam. Dilihat dari segi akomodatifnya terhadap Islam tradisi,
mereka belum tentu. Dilihat dari segi mesti berhadapan dengan revivalis (salafi)
kadang tidak juga. Buktinya, kenapa Rasyid Ridha yang digolongkan salafi oleh
kaum salaf dimasukkan pula dalam Islam Liberal. Demikian pula Ahmad Surkati dan
Ahmad Dahlan yang dianggap “musuh” NU (Nahdlatul Ulama/ Islam tradisi)
dimasukkan dalam Islam Liberal pula.
Namun, penyebutan Islam
Liberal yang dipakai Kurzman itu justru agak mendekati kepada realitas
pemahaman, dibanding apa yang dilakukan oleh Dr Harun Nasution yang tentunya
dijiplak juga dari Barat, kemudian bukunya jadi materi pokok di IAIN dan
perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN
menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau
Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern
dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan
pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih
dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern
dalam Sejarah Islam.
Pemerkosaan seperti
itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun Nasution menulis buku
yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di
Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan, terbit pertama
1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau
modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang
mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk
laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam
satu nama yaitu kaum Modernis.
Mendiang Prof Dr Harun
Nasution alumni MMcGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji
Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka
pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
hal 49).
Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam
Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at
Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan
bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan
kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak
melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).
Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:
لكل بني آدم حظ
من الزنا: فالعينان تزنيان وزناهما النظر، واليدان تزنيان وزناهما البطش، والرجلان
تزنيان وزناهما المشي، والفم يزني وزناه القبل، والقلب يهوي ويتمنى، والفرج يصدق
ذلك أو يكذبه.
"Likulli banii aadama
haddhun minaz zinaa: fal 'ainaani tazniyaani
wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu,
warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii
wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushod
diqu dzaalika au yukaddzibuhu."
wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu,
warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii
wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushod
diqu dzaalika au yukaddzibuhu."
Artinya:
"Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan
zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina
dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan
berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan
yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal
243,
sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang
berbeda namun maknanya sama).
Benarlah Rasulullah
SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi.
Pencampuradukan yang
dilakukan Harun Nasution --antara tokoh yang memurnikan Islam dan yang
berpendapat melenceng dari Islam-- dalam bukunya ataupun kurikulum perkuliahan
itu memunculkan kerancuan yang sangat dahsyat, dan paling banter dalam
perkuliahan-perkuliahan hanya dibedakan, yang satu (revivalis/ salafi, pemurni
Islam) disebut sebagai kaum modernis, sedang yang lain, yang menerima
nasionalisme, demokrasi, bahkan dansa-dansi, disebut Neo Modernis.
Kerancuan-kerancuan
semacam itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan sejak mereka belajar
di Barat, sebenarnya telah mencampur adukkan hal-hal yang bertentangan satu sama
lain, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: Modernis atau Pembaharu.
Baik itu dibikin oleh ilmuwan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran
itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni
Barat yang lebih menekankan filsafat daripada syari’at Islam (di antaranya
dengan mempersoalkan tentang siksa di hari kiamat) seperti Dr Harun Nasution, mereka telah membuat
sebutan atau kategorisasi yang tidak mewakili isi. Dan itu menjadi fitnah dalam
keilmuan, sehingga terjadi kerancuan pemahaman, terutama menyangkut masalah
“pembaharuan” atau tajdid. Karena, tajdid itu sendiri adalah
direkomendasi oleh Nabi saw bahwa setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid
(pembaharu) dari umatnya.
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل
مائة سنة من يجدد لها دينها.( رواه أبو داود).
“Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada
setiap akhir seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui
agamanya.”
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).
Kalau orang yang menghalalkan dansa-dansi
campur aduk laki perempuan model di Prancis, yaitu Rifa’at At-Thahthawi di
Mesir, justru dikategorikan sebagai pembaharu atau mujaddid, bahkan
dianggap sebagai pembuka pintu ijtihad, apakah itu bukan fitnah dari segi
pemahaman ilmu dan bahkan dari sisi ajaran agama?
Padahal, menurut kitab
Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami Muhammad Said, pembaharuan yang
dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam seperti awal
mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan,
“Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam seperti pada zaman salaf yang
pertama.” Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah mati di masyarakat. Jadi
bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang aneh-aneh yang tak
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan adapun menyimpulkan hukum sesuai
Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai hal-hal baru, itu namanya ijtihad. Jadi yang
diperlukan dalam Islam adalah tajdid dan ijtihad, bukan pembaharuan dalam arti
mengakomodasi Barat ataupun adat sesuai selera tanpa memperhatikan landasan
Islam.
Dr. Faraj Faudah (Faraq Fuda 1945-1993) adalah wakil dari
kelompok sekuler bersama Dr Muhammad Khalaf Allah dalam menghadapi wakil
kelompok Islam yaitu Syekh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma’mun Al-Hudaibi,
dan Dr Muhammad Imarah dalam acara debat Islam dan Sekuler yang kedua,
1992. Debat pertama dilaksanakan 1987M/ 1407H, pihak Islam diwakili Syekh
Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qaradhawi berhadapan dengan pihak sekuler
yang diwakili Dr Fuad Zakaria. Kemudian dalam kasus terbunuhnya Dr Faraj Faudah
April 1993, Syekh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di pengadilan sebagai saksi
ahli (hukum Islam), Juli 1993 di Mesir. Kesaksian Syekh Muhammad Al-Ghazali
cukup membuat kelabakan pihak sekuler, karena menurut Syekh Muhammad Al-Ghozali,
sekuler itu hukumnya adalah keluar dari Islam.
Menteri Agama RI pertama, dulu bernama Saridi, lalu diubah
oleh gurunya –Syekh Ahmad Surkati-- waktu sekolah di Al-Irsyad, menjadi Rasyidi.
Lihat buku 70 Tahun HM Rasyidi.
Karena menurut almarhum Dr Peunoh Dali guru besar IAIN
Jakarta, Pak Harun Nasution itu adalah orang yang kagum terhadap
Barat.
Ketika Dr Harun Nasution melontarkan pendapatnya yang
mempersoalkan adanya siksa di hari akhir kelak, tahun 1985-an, dan dibantah
orang di antaranya HM Rasjidi, saya sebagai wartawan menanyakan kepada Dr
Quraish Shihab dalam satu perjalanan Jakarta- Palembang. Jawab Dr Quraish
Shihab, kalau yang dimaskud siksa itu penganiayaan yaitu kedhaliman Allah
terhadap hambaNya, itu ya tidak ada. Tetapi kalau siksa itu adzab sebagai
balasan perbuatan dosa, ya tentu saja ada. Jawaban itu tadi agak mengagetkan
saya, dan baru sembuh kekagetan saya ketika penggalan akhir dia ucapkan. Namun
ada jawaban yang lebih mengagetkan saya. Ketika Porkas (judi lotre nasional masa
Soeharto) baru muncul, saya bertanya kepada Prof KH Ibrahim Hosen, LML, Ketua
Komisi Fatwa MUI/ Majelis Ulama Indonesia, bagaimana tanggapan beliau tentang
dimunculkannnya Porkas oleh pemerintah itu. Sambil siap-siap masuk ke dalam
mobil di halaman Masjid Istiqlal Jakarta, beliau berkata: Anda jangan tanya
tentang yang kecil-kecil seperti itu. Porkas itu masalah kecil. Tanyakan masalah
yang besar kepada orang yang mengatakan bahwa di akherat nanti tidak ada siksa.
Itu masalah besar, ucap Pak Ibrahim Hosen sambil masuk ke dalam mobil. Dalam
perjalanan waktu, ternyata Porkas yang beliau sebut masalah kecil itu menjadi
masalah besar secara nasional selama bertahun-tahun. Masyarakat banyak yang
melarat dan gila. Di jalan-jalan banyak orang yang menanyakan nomor lotre kepada
orang-orang gila. Di mana-mana banyak sonji alias dukun-dukun tebak angka lotre.
Di tempat-tempat yang mereka anggap keramat jadi tempat “peribadahan” pemburu
nomor judi lotre yang belakangan namanya diubah jadi SDSB (Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah). Saya pikir, masalah kecil saja kalau dibiarkan, dan tidak diharamkan
oleh MUI sejak awal, tahu-tahu jadi besar dan menjadi musibah aqidah umat Islam
se- Indonesia. Apalagi pikiran sesat yang disebut masalah besar oleh Pak Ibrahim
Hosen yang menganggap kecil masalah Porkas itu tadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar