Waspadalah, Duniamu adalah Akhiratmu

KITA sering mendengar ada pepatah
mengatakan, ”Today is
yesterday, and tomorrow is today.” Atau pribahasa yang mengatakan “Esokmu adalah dirimu hari ini.”
Ada juga kata-kata movitasi yang mengatakan, “Think big, begin with small, act now,
learning by doing, doing by improving, practice make perfect.”
Hanya
saja, motivasi seperti itu kini banyak dipraktikkan oleh orang-orang yang lebih
mencintai dunia atau urusan materi. Umumnya, banyak orang ingin menjadi orang
nomer satu di bidangnya.
Sebagian
besar sifat orang lebih suka mempersiapkan urusan jangka pendek. Orang
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, agar di hari tua menikmati hasilnya.
Padahal, tidak jarang semua yang mereka kumpulkan berakhir dengan sia-sia.
Alkisah
di sebuah desa, ada seorang pengusaha kaya-raya.
Begitu sibuknya mengumpulkan harta, ia lupa keluarga, waktu dan beramal. Allah
mentakdirkan dia kaya, sehingga dikenallah menjadi tuan tanah dan pengusaha
walet di sebuah kota kecil di Jawa Timur.
“Saya
jungkir-balik, banting-tulang, ini semua demi anak dan agar bisa kami nikmati
di hari tua,” begitu katanya.
Sayang,
ketika usianya telah mencapai 55, Allah memanggilnya setelah diberi musibah
sakit. Bahkan selama hidupnya, ia sendiri belum pernah menikmati kekayaannya
secara baik.
Setahun
kematiannya, sebelas anak-anaknya justru pecah berantakan karena urusan
warisan. Mereka saling menggugat satu dengan yang lain ke pengadilan karena
menganggap apa yang diterima tidak adil.
Kasus
seperti ini bagian dari cerita nyata di sekeliling kita. Banyak orang
menghabiskan waktu, menguras tenaga untuk berburu jabatan dan harta sebagai
bekal hari tua. Namun faktanya, banyak di antara mereka berakhir dengan
sia-sia. Uang, harta, jabatan yang mereka kejar tidak bisa dinikmatinya.
Al-Qur’an
Sebagai PedomanBanyak masyarakat begitu antusias mempersiapkan dunia dan
seisinya, tapi jarang seorang Muslim terdorong mempersiapkan diri untuk masa
depan yang lebih hakiki (akhirat).
Padahal
yang paling haq dari kehidupan dunia ini adalah Duniamu untuk Akhiratmu. Siapa
yang gagal menjadi hamba Allah yang taqwa di dunia ini maka keburukanlah
baginya di akhirat nanti. Barang siapa yang berhasil menjadi hamba Allah yang
taqwa maka baginya kemenangan abadi.
Taqwa
adalah sifat yang menomorsatukan Allah dan Rasul-Nya atas segala situasi dan
kondisi. Inilah firman-Nya
وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Dan
barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan
bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.”
(QS. 24 : 52).
Setiap
Muslim sangat mungkin dan pasti bisa menjadi orang bertaqwa. Allah SWT telah
memberikan pedoman, panduan atau juklak untuk meraih kebahagiaan abadi di
akhirat.
Agama
Islam dengan seluruh perangkat Al-Qur’an dan Hadits-nya merupakan
pedoman-pedoman bagi umat manusia untuk mendapatkan; petunjuk, aturan, pedoman
hidup, berita yang lengkap tentang segala hal yang menyangkut seluruh keperluan
manusia yang hanya berlaku selama masih hidup singkat di dunia yang fana ini.
Syarat
untuk mendapatkan manfaat besar dari Al-Qur’an dan Hadits itu ialah dengan
menjadi orang yang bertaqwa. Sebagaimana firman-Nya, “Kitab (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. 2 : 2).
Secara
lebih komprehensif Al-Qur’an disebut sebagai petunjuk karena di dalamnya
terdapat khabar shodiq yang berisi berita baik dan buruk yang akan diterima
manusia di akhirat (yang kekal abadi) sesudah mati sebagai balasan atas
perilakunya dalam menyikapi petunjuk dan aturan Allah selama hidupnya di dunia.
Seorang
Muslim yang baik, harus menyadari diri, bahwa dunia ini tiada lain hanyalah
tempat persinggahan yang berfungsi sebagai tempat untuk mempersiapkan diri
menuju akhirat. Bahagia atau tidak kehidupan di akhirat nanti, sepenuhnya
ditentukan oleh persiapan kita dalam mengumpulkan bekal menuju perjalanan abadi
itu.
Oleh
karena itu, selagi masih ada kesempatan hidup di dunia ini, jadikanlah
Al-Qur’an sebagai petunjuk. Hiasilah hari dan waktumu dengan menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dan memperbanyak amal. Karena
itulah sesungguhnya bekal paling bermanfaat manusia.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Tiadalah
kenikmatan dunia dibandingkan kenikmatan akhirat melainkan seperti salah
seorang di antara kamu pergi ke laut; lalu ia masukkan jari tangannya ke dalam
lautan itu, maka hanya air yang menempel pada jarinya itulah keseluruhan
nikmat-nikmat dunia. Sedangkan perbandingan nikmat surga akhirat adalah sangat
jauh dan lebih luas lagi seperti luas lautan tadi.” (HR. Al-Hakim).
Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman, “Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. 57 : 20).
Sayyidina
Ali pernah berwasiat, “Kuasailah
dunia jangan cintai.” Artinya umat Islam harus tetap berkonsentrasi
menguasai segala hal yang penting di dunia ini guna tegaknya agama Islam.
Allah
berfirman;
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. 28 : 77).
Jadi
umat Islam perlu juga menguasai dunia dengan tidak mencintainya sedikitpun.
Kalau tidak maka dunia akan dikuasai orang kafir sepenuhnya yang justru akan
berpotensi menyesatkan mayoritas umat Islam, khususnya mereka yang berada dalam
kekurangan harta dan ilmu. Lihat (QS. 10 : 88 dan QS. 71 : 21, 22, 24, 27).
Hanya
saja, kaum Muslim harus menjadikan dan memperlakukan dunia dan seisinya berbeda
dengan kaum kafir. Dengan demikian jelaslah bagi kita apa fungsi dunia yang
sebenarnya. Dunia tidak lebih seperti jembatan semata. Ia hanya media menuju
akhirat.
Oleh
karena itu kuasailah dunia jangan cintai, tapi manfaatkan sepenuhnya untuk
bekal menuju akhirat. Maka benarlah ungkapan yang mengatakan; sebenarnya
duniamu adalah akhiratmu.
Para
ulama mengatakan, di antara penyakit hati (amraadhul
quluub) yang menghalangi seseorang untuk memperbaiki dirinya adalah
penyakit at-Taswiif. Taswiif berasal dari bahasa Arab, dari akar kata: sawwafa – yusawwifu – taswiifan
(menunda-nunda).
Penyakit
at-Taswiif diartikan sebagai penyakit menunda-nunda amal, yang dinilai sangat berbahaya,
karena ia dapat menjangkiti siapa saja.
Penyakit
at-taswiif termasuk penyakit menunda taubat, seolah-olah hari esok masih milik
kita. Atau seolah-oleh usia kita masih panjang. “Ah, saya akan bertaubat jika
nanti sudah di atas 50 tahun,” begitu kira-kira.
Seorang
ulama salaf, Syeikh Hasan al-Basri, mengingatkan kita untuk senantiasa waspada
terhadap penyakit ini. Sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya Ibnu al-Mubarok
(wafat 181 H) dalam kitabnya az-Zuhd. Beliau berkata, “Jauhilah dirimu dari taswiif. Karena
sesungguhnya engkau berada dengan harimu ini dan bukan dengan hari esokmu. Jika
engkau diberi kesempatan untuk bernafas esok hari, maka jadikanlah hari esok
itu sama seperti harimu ini. Karena jika hari esok tidak diperuntukkan bagimu,
engkau tidak akan menyesal dengan hari yang kau lalui hari ini.”
Semoga
kita menjadi orang yang tidak keliru memperlakukan dunia dan hari esok.*/Imam Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar