Cerpen - Sesuap Nasi

Aku mempercepat langkahku sambil sesekali membasuh peluh yang
hampir menetes. Lebih cepat lagi. Setengah berlari. Ada yang harus kusampaikan
dengan segera kepada sahabat terbaikku, tempat mengadu, mengeluh dan yang
paling utama tempatku meminjam uang. Sebentar lagi aku akan sampai di toko
sembako Haji Mamat, tempat Ucup bekerja sebagai pelayan. Beberapa langkah lagi.
Ramai dan antre oleh para pembeli. Aku harus menunggu para pembeli
itu membubarkan diri satu persatu. Hanya satu yang belum beranjak pergi.
Seorang pria berkaos lusuh dengan tas ransel di punggungnya yang berdiri di
dekat karung beras, tapi aku tak peduli. Kabar ini harus segera kusampaikan.
Aku tidak mampu menuggunya lagi.
“Ucup! Ucup!” teriakku membuat Ucup menatap tajam wajah gembiraku
dan menghentikan aktifitasnya.
“Gue udah dapet kerja. Lu nggak perlu takut! Gue nggak ngutang
lagi,” kataku dengan bangga.
“Kerja apaan?”
“Cleaning service di restoran tempat orang-orang kaya pada makan.”
“O… kirain…”
“Lu kan, tau sendiri. ” Ucup tak mau menggubrisku lagi. Ia
langsung melayani pria yang berdiri di dekat karung beras itu. Padahal pria
tersebut hanya membeli segelas aqua.
***
Pakaianku lebih rapi dari biasanya, mampir sebentar di warung kopi
untuk mengganjal perut, kemudian berangkat. Aku akan memulai pekerjaan baruku.
Pekerjaan yang kunantikan, setelah sekian lama mondar-mandir mencarinya. Tidak
akan lagi menjadi tukang parkir, calonya para sopir angkutan yang mengetem di
perempatan lampu merah dan kerja serabutan lainnya.
Tidak lama lagi aku akan menunaikan cita-citaku untuk pindah dari
kontrakan ini. Tidak akan ada lagi antre untuk mandi atau sekadar membersihkan
wajahku ketika bangun dari tidur. Aku sudah bosan dengan air hujan yang selalu
merembes pada dinding triplek di musim hujan seperti ini.
Belum lagi ukurannya yang hanya sepetak mampu melelehkan tubuhku
jika tiba musim panas. Hhh... sebuah kontrakan yang hanya layak untuk para
pengangguran dan pekerja serabutan.
“Mau berangkat kerja ya?” Mendadak suara itu mengagetkanku yang
baru saja memajang tubuhku di depan pintu. Aku tidak langsung menjawabnya,
sedikit memperhatikan pakaian dan wajahnya yang pernah kulihat.
“O, ya. Pria yang kemarin kulihat di toko Haji Mamat,” batinku.
Bukankah di pagi seperti ini biasanya orang-orang memang sibuk untuk
bekerja? Hanya orang-orang yang menganggur dan kerja serabutan saja yang masih
santai pada jam segini. Tentu saja aku tahu, aku baru saja melepas jabatan itu
kemarin. Ternyata dia tetangga baru di sebelah kamarku. Namanya Karya.
“Gue Mis, Misbah. Mau ngopi dulu, yuk!”
“Makasih, saya lagi puasa,” jawabnya.
“O...” aku membulatkan mulutku dengan segera.
***
Merapikan dan membersihkan meja makan, lantai dan dapur adalah
tugas yang tidak rumit. Meskipun aku lelaki, tetapi dulu emak sering memperkenalkan
pekerjaan ini kepadaku. Tidak, masih ada yang terasa berat, sulit bagiku untuk
melakukannya. Tidak sampai hati. Aku tidak hanya sekadar menyaksikan, tetapi
menjadi pelakunya.
Menumpahkan sisa-sisa nasi dan makanan yang berserak di
piring-piring ke dalam plastik, kemudian menggiringnya ke tempat pembuangan.
Bagaimana tidak? Sepanjang hidup emak, dia selalu bersusah payah. Aku masih
ingat ketika emak mengais sisa-sisa beras yang tumpah di toko beras dekat
pasar. Setelah itu, emak akan berjalan menuju tukang sayuran untuk melakukan
hal yang sama. Kemudian mengolah semuanya untuk menjadi santapanku.
Meskipun manajer di restoran ini mempersilahkan para karyawannya
untuk makan secukupnya, aku sempat memintanya untuk kubawa pulang dan kubagikan
para tetangga di kontrakan. Pasti mereka akan senang, karena tidak hanya dapat
menyembuhkan rasa lapar, tetapi juga dapat memberinya kesempatan untuk
mencicipi makanan enak dan steril.
Tunggu dulu! Tidak semudah itu, buktinya ada perkataan yang
memaksaku untuk melupakan niat yang telah kuanggap sangat mulia ini.
“Kami tidak mau mengambil risiko bila terjadi sesuatu akibat
makanan tersebut. Kebersihan makanan tidak lagi terjamin jika sudah di luar
sana,” katanya.
***
Aku berjalan gontai membawa lelah dan pengalaman kerjaku yang
mengenaskan. Sesaat ada yang memaksa perhatianku kepadanya. Seorang lelaki yang
sudah renta, kepala dan dagunya pun tak luput dari warna putih. Jalannya yang
lambat membuatku mampu mengamati dirinya yang terbalut pakaian lusuh. Tiba-tiba
langkahnya terhenti ketika melihat undukan sampah yang teronggok di sarangnya.
Kemudian, tangannya mulai bermain di dalamnya untuk melacak keberadaan sisa
makanan. Mendadak matanya berbinar menemukan bungkusan nasi yang sudah rusak,
tapi itu sesaat. Segera disusul oleh kecewa, karena nasi yang ditemukannya
sudah basi.
“Ahh… andai saja aku berhak mengajaknya ke restroran tempatku
bekerja dan menyuruhnya menghabiskan sisa-sisa makanan di sana, ” sesalku
pelan.
Aku tidak sanggup menyaksikannya lebih jauh lagi. Hatiku terasa
sakit, tidak mampu berbuat sesuatu untuk menghilangkan laparnya. Kejantananku
hampir hilang oleh butir bening yang menggantung di sudut mataku.
***
“Maaf! Saya puasa,” tolak Karya untuk kesekian kali ketika kuajak
ke warung kopi.
Perlahan ada rasa kagum untuknya. Bagaimana tidak? Dari kecil aku
sering merasa susah untuk mendapatkan sesuap nasi, tapi kalau harus
mensiasatinya dengan puasa, aku akan berpikir bolak-balik. Ya, hanya orang seperti
kami inilah yang mampu menghargai sesuap nasi demi perut. Tidak seperti mereka
yang keluar dan masuk restoran itu.
Dulu aku pernah menyisakan makanan seperti mereka itu, kemudian
emak berkata, “Kita tidak akan pernah bisa menghitung berapa banyak orang yang
lebih buruk dari kita untuk mendapatkan sesuap nasi. Jika tak mampu membantu
mereka, setidaknya kita tidak membuang makanan dengan sia-sia. Sebutir nasi
yang kita sisakan, bisa jadi merupakan sebutir nasi yang membuat orang mati
karena tak bisa mendapatkannya.”
Mudah-mudahan mereka segera sadar akan hal itu. Meskipun aku sudah
sering membuang makanan sisa mereka, tetapi aku tetap saja tidak mampu berdamai
dengan hatiku sendiri. Sungguh aku merasa lelah untuk membuat batinku selalu
berdebat hebat.
***
Kali ini aku nekat keluar dari job list untuk memperhatikan
pengunjung restoran. Bukan hanya satu atau dua orang yang bersikap mubazir,
tetapi cukup banyak. Bahkan terlalu banyak. Hampir seluruh pengunjung di
restoran ini.
Aku mendapati orang tersebut. Entah tidak napsu makan atau selera
makannya hilang secara tiba-tiba? Yang pasti sejak pertama aku bekerja, orang
tersebut selalu memesan makanan yang lebih dari porsinya dan menyisakannya di
piring. Aku sengaja menghampirinya ketika ia bersiap-siap untuk meninggalkan
meja makannya.
“Maaf, Pak! Mau dibungkus makanannya?” tawarku.
“Tidak perlu,” jawabnya tanpa mempedulikanku.
“Tapi Bapak belum menghabiskan makanannya,” kataku sambil mencegah
langkahnya.
“Tetap saya bayar kok,” jawabnya lagi sambil ngeluyur pergi ke
kasir.
Aku tidak kesal dengan sikapnya yang tak acuh kepadaku, tetapi aku
kesal jika dia tak acuh dengan sisa makanannya. Bayangkan di luar sana berapa
banyak orang yang dibuat kecewa oleh sikapnya yang seperti ini! Bahkan, beberapa
di antara mereka terpaksa membeli nasi aking untuk menahan laparnya.
Bayangkankan pula biaya pembuangan sisa makanan yang harus dikeluarkan oleh
produsen serta dampaknya terhadap lingkungan!
***
“Meskipun sering puasa, tetap aja saya nggak bisa berbuka dengan
makanan yang enak,” jawab Karya saat kuselidiki kebiasaannya.
Kata-katanya membuat kesabaranku habis. Aku tidak mau melanjutkan
pekerjaanku di restoran itu, tapi bagaimana dengan pesan si Ucup, “Jangan
berpikir kalo pekerjaan lu adalah hina! Ingat kebersihan itu sebagian dari
iman!”
“Maafin gue, Cup!” lirihku pelan.
Aku tidak mau bekerja di lingkungan setan. Bukankah pelaku mubazir
itu adalah saudaranya setan? Aku akan mencari pekerjaan lain. Pokoknya
pekerjaan yang tidak menyinggung para kaumku atau mereka yang senasib denganku.
Jika perlu aku akan kembali ke perempatan lampu merah itu. Ya, aku mantap
dengan keputusanku. Aku sudah tahu solusi yang baik jika aku kembali kerja
serabutan. Aku akan berpuasa seperti yang dilakukan Karya. Aku tak perlu takut
mati karena kelaparan.
***
“Mis!” Suaranya tak asing, aku pun menoleh. Ternyata benar, itu
adalah suara Ucup.
Sejak sibuk menjadi Cleaning service hampir tak pernah ada
pertemuan di antara kami, tapi Ucup tidak pernah berubah. Dia selalu ada di
saat aku susah, bahkan di sela-sela perjalananku saat ini.
“Kok udah pulang jam segini, Mis?” tanya Ucup
“Iya. Gue ngundurin diri”
“Apa? Yang benar aja?”
“Gue nggak sanggup lagi kerja di restoran itu. Gue udah pernah
cerita kan, kejadian-kejadian di sana?”
“Iya. Tapi kita ini orang kecil, Mis. Apalagi cuma lulusan SD,
kerja jadi pelayan toko aja udah bersyukur.”
“Ahh... udahlah, Cup! Lu nggak perlu takut! Gue nggak akan ngutang
di toko Haji Mamat lagi, gue mau puasa kayak si Karya.”
“Bukan itu, Mis. Lu itu baru ngeliat sebagian kecil orang-orang
yang berjuang mencari sesuap nasi dengan cara halal. Lu sendiri mau jadi apa?
Lu pikir semakin banyak kejahatan di negara kita ini gara-gara apa? ” Ucup
nyerocos dengan nada kesalnya.
Aku terdiam beberapa saat untuk menyelami kata-kata Ucup, tapi itu
tak membuatku menyesal dengan keputusanku. Toh dari dulu si Ucup memang hobi
menasehatiku. Dan aku akan tetap mengikuti langkah si Karya. Bukankah tidak ada
seorang pun di dunia ini yang meninggal karena puasa?
“Gue nggak takut kalo lu ngutang lagi di toko Haji Mamat. Karena
gue udah nggak kerja di situ lagi, ” tambahnya, masih tetap dengan nada
kesalnya.
“Kenapa? Bukannya gue udah nggak ngutang lagi? Lu nggak diomelin
lagi gara-gara gue kan, ...?” tanyaku cemas.
“Emang bukan itu, tapi lain lagi masalahnya. Hampir setiap hari
selalu ada beberapa sembako yang hilang. Meskipun sedikit-sedikit, lama-lama
Haji Mamat kesal. Ya udah, karena gue pelayan di situ, kemarin gue dipecat.”
***
Tidak ada lagi kesibukan, termasuk pergi ke warung kopi di pagi
tadi. Karena hari ini aku sudah memutuskan untuk berpuasa. Aku ingin menemui
Karya di kamarnya. Aku belum melihat batang hidungnya dari pagi. Mungkin dia
sedang tertidur lelap, dikejar kantuk akibat sahur.
“Kebetulan tidak terkunci,” gumamku pelan.
Aku tak kalah kagetnya dengan Karya yang kepergok sedang menyuap
nasi ditemani semangkuk mi instant.
“Kok nggak berangkat kerja?” tanyanya gugup sambil menahan kunyah
di mulutnya.
“Gue udah nggak kerja lagi”
“Ohh... ya udah duduk sini!” tawarnya sambil tertawa geli.
“Kenapa ketawa?”
“Ya, senang aja. Berarti ada temannya, nggak nganggur sendirian.”
“Tapi kan, lu...”
“Itu karena saya malu, abis waktu itu kamu udah kerja.”
“O...” ucapku masih penuh dengan tanda tanya. “Nggak biasanya hari
ini nggak puasa?”
“Pelayan tokonya masih baru. Jadi ada kesempatan buat ngambil
jatah makan siang.”
Sesaat bayang Ucup menyita benakku dan kata-katanya terngiang
hebat di telingaku.
*Ita Ayankta adalah nama pena Nurbaiti Bahrudin. Mahasiswa
Semester 6 Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar